beritaKUH- Masih sangat minim bagi kalangan akademisi serta masyarakat menggunakan kartu pos sebagai sumber sejarah. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa gambar-gambar yang terpampang dan kalimat yang tersurat menjadi saksi perubahan sebuah kota dan tentu saja perjalanan kehidupan masyarakatnya. Berkaitan dengan itu lewat pesan yang lestari sebagai warisan visual kita berusaha untuk lebih mengenali generasi seabad silam.
Melalui dokumentasi gambar pada kartu pos kita dapat menelusuri potret-potret sejarah kehidupan yang bahkan tidak terdokumentasi oleh media lain. Hal ini kemudian direspon dengan sebuah pameran tentang Yogyakarta tempo dulu bertemakan Pesiyaran dalam bingkai “Cerita Kartu Pos 2022”.
Dengan gambar-gambar yang menunjukkan citra kehidupan eksotis di Yogyakarta mengingatkan kita pada fungsi penting kartu pos yang mungkin terlewatkan banyak orang. Khususnya terkait dengan kemampuannya merekam perubahan sebuah kota dan kehidupan masyarakatnya. Melalui sebuah kartu pos terlihat beberapa tema favorit yang terekam, seperti keindahan pemandangan alam, romantisme kehidupan tradisional, kemajuan teknologi dan infrastruktur modern Yogyakarta.
Melalui perjalanan panjang, Yogyakarta tidak hanya dipahami melalui sebuah tulisan tetapi juga sejarah yang diceritakan oleh visual dari kartu pos, prangko, dan berbagai koleksi benda. Pameran ini kemudian menjadi ruang bersama untuk membaca segala kemungkinan sejarah dan diharapkan pengunjung tetap mendapat ruang untuk memiliki interpretasi terhadap koleksi yang disajikan. Dengan demikian kerinduan untuk menghadirkan kenangan masa lalu Yogyakarta tempo dulu dalam bingkai “Cerita Kartu Pos” yang dicita-citakan dapat sampai pada masyarakat luas.
PESIYARAN
Cerita pariwisata Indonesia pada masa Hindia Belanda telah dikenal melalui penggambaran akan gunung, sawah, pantai, atau eksotik alam Potret yang ditangkap menunjukkan bahwa keindahan yang dimiliki tidak kalah dengan negeri-negeri sekitar. Sarana infrastruktur, akomodasi serta berbagai objek pariwisata seperti pemandangan di daerah pegunungan dan budaya telah tersedia di Hindia Belanda. Hal tersebut dapat ditelusuri dari catatan – catatan perjalanan abad ke-19.
Potensi pariwisata kemudian menjadi tangkapan mata sejarah keindahan masyarakat Hindia Belanda. Penggambaran potensi wisata kemudian memberi peluang dalam melihat kilas balik pariwisata yang berada di Jawa dan khususnya Yogyakarta.
Melalui sebuah kartu pos, potensi wisata tidak hanya dari alam yang eksotis tetapi juga potret sosial budaya, teknologi, dan infrastruktur modern. Lebih lanjut juga nampak keberadaan jaringan transportasi kereta api, hotel, kawasan budaya keraton dan ikon seperti tugu pal putih turut menjadi bagian dari keindahan wajah Yogyakarta. Lebih lanjut seiring dengan keberadaan berbagai obyek wisata yang terdokumentasi semakin popular dan menjadi bukti mengenai aktivitas liburan. Potret inilah yang ditangkap sebagai salah satu obyek pameran sekaligus menjadi bagian dari daya tarik untuk berpesiyaran.
Catatan menarik pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terkait dengan pesiyaran yaitu istilah yang digunakan di Belanda dan Hindia Belanda ternyata berbeda. Di Belanda digunakan istilah vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) yang kemudian bergeser maknanya menjadi toerisme (pariwisata), sedangkan di Hindia Belanda digunakan istilah vreemdelingenverkeer. Perbedaan ini menarik karena istilah vreemdelingen (orang asing) yang digunakan di Belanda mengacu pada toeristen (wisatawan). Jika dilihat dari makna kata vreemdelingen (orang asing), maka di Belanda para wisatawan (toeristen) dianggap sebagai orang asing walaupun tidak semua wisatawan orang asing.
POS DAN JARINGAN TRANSPORTASI MODERN
Kebutuhan komunikasi jarak jauh mau tidak mau menuntut untuk membentuk suatu sistem yang berfungsi mengirimkan kabar, berita, dan informasi penting lainnya. Lebih tepatnya di era kolonial Belanda inilah menjadi awal terbentuknya manajemen surat-menyurat, dalam hal ini jasa pos dan jaringan jalan yang terbentuk menunjukkan perannya yang besar pada kelancaran berkomunikasi.
Pada waktu itu perjalanan pos benar-benar membutuhkan waktu yang lama untuk sampai pada tujuan. Hal ini tidak lepas dari kemampuan hewan penarik dan kondisi jalan yang kurang memadai cukup sulit dilalui. Secara kualitas hanyalah jalan-jalan tanah yang dikeraskan, bahkan beberapa jalannya turun naik dan berbatu sehingga cukup berat dilalui kendaraan. Baru setelah munculnya jalur rel, dapat terlacak bahwa sistem pengiriman pos mulai menggunakan kereta api sebagai sarana mengirim pesan. Bersamaan dengan peningkatan pengguna layanan pos, teknologi pengiriman pos menjadi prioritas penting untuk ditingkatkan dan sejak saat itu dimulailah kerjasama dengan transportasi kereta api.
Terlacak pada tahun 1905 kantor pos kereta api pertama di jalur milik pemerintah Staatsspoorwegen telah beroperasi. Fungsi kantor-kantor ini menerima surat, menyortir dan mencapnya. Untuk tempat-tempat pemberhentian lebih kecil seperti halte juga mulai disediakan alat pengaman berupa jaring yang dipasang untuk menangkap surat pos tanpa kereta api harus berhenti. Sebagai contoh pada tahun 1929 terdapat bukti perjalanan surat melalui cap pos dari Yogyakarta:
Kemajuan teknologi transportasi kereta api dimanfaatkan untuk memaksimalkan pengangkutan layanan surat pos dari pedalaman menuju Kota Yogyakarta. Bersamaan dengan hal tersebut menjadikan tempat pemberhentian kereta api berperan penting dalam pengiriman surat dan paket pos sebelum didistribusikan ke berbagai wilayah. Di dalam wilayah Yogyakarta terdapat beberapa stasiun dan halte yang dahulu berperan sebagai lokasi pengirim pesan yang dapat dibuktikan dengan bentuk cap. Dari jalur kereta api di dalam wilayah Yogyakarta terdapat Halte Brambanan, Halte Kalasan, Halte Magoea, Stasiun Lempuyangan, Stasiun Tugu, Halte Rewoloe, Halte Sedajoe, Halte Sentolo, Halte Kalimenur, Halte Wates, Halte Kedongdang.
MEDIA PEREKAM ZAMAN
Saat ini mungkin mengirim pesan melalui pos merupakan sesuatu yang asing, namun perlu diingat bahwa sebelum dunia semudah ini dengan segala teknologinya surat menyurat merupakan catatan yang tidak bisa dipisahkan dalam perjalanan komunikasi.
Melalui selembar kertas tebal berbentuk persegi panjang inilah media yang digunakan sebagai alat berkirim pesan. Kertas ini kemudian kita kenal sebagai kartu pos. Kartu pos pertama di dunia diterbitkan di Australia pada 1 Oktober 1869 dengan nama Correspondenz-Karte. Sementara menurut Olivier Johannes Raap generasi kartu pos pertama di Indonesia mulai diterbitkan pada 1874 dan dikeluarkan oleh pos negara. Pada awalnya kartu pos yang beredar masih belum bergambar dengan ukuran sekitar 9 x 12 sentimeter. Terdapat sisi kosong untuk menulis surat, sementara di baliknya digunakan untuk alamat dan prangko yang sudah tercetak, sehingga secara otomatis pengirim tak perlu lagi membeli perangko karena harga jual kartu pos sekaligus sudah termasuk biaya pengirimannya.
Pada 1890-an kartu pos bergambar terlacak telah diterbitkan oleh penerbitan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pos negara. Pada saat itu kartu pos masih mengadopsi gambar dari lukisan dan sebagian menggunakan teknik percetakan litografi. Pada perkembangannya beriringan dengan peningkatan teknologi, kartu pos mulai menggunakan hasil foto hitam putih. Sedangkan kartu pos berwarna masih diproduksi dengan menggunakan pewarnaan manual dengan kuas halus seperti mewarnai. Baru sekitar 1920-an, kartu pos foto hitam putih bisa langsung dicetak dari klise foto, namun dengan biaya produksi pada waktu itu yang masih sangat mahal. Berkaitan dengan foto pada kartu pos, tidak bisa lepas dari tokoh bernama Kassian Cephas seorang pelukis sekaligus fotografer kepercayaan Kesultanan Yogyakarta. Foto-foto hasil karya Kassian Cephas banyak mendokumentasikan suasana dalam benteng keraton berikut kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya. Kassian Cephas banyak mengabadikan suasana bangunan, jalan, kegiatan budaya keraton, juga potret keluarga Sultan yang kini menjadi dokumen sangat berharga.
Pameran penghujung tahun 2022 dan penyambut tahun 2023 ini bertajuk “Cerita Kartu Pos 2022 “ dengan Tema Pesiyaran ialah Kolaborasi antara Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Komunitas Jejak Kartu dengan Pos Indonesia, ISI Yogyakarta dan Kopi Pak pos yang dilaksanakan 15 – 31 Desember 2022 di Kantor Pos Yogyakarta ikut mewarnai titik nol Yogyakarta di masa liburan akhir tahun ini dan dibuka untuk umum.
Pameran yang digawangi para Kurator Nanang Setiawan, Fajar Wijanarko dan Eka Martha Tyahahu Ningsih memberikan keunikan dalam pameran ini, pameran bertajuk Pesiyaran ini menceritakan Perjalanan panjang pariwisata Yogyakarta yang terbingkai melalui Kartu Pos masa Kolonial Belanda dengan Potret Yogyakarta tempo dulu serta perjalanan transportasi dan pelayanan jasa kurir di Yogyakarta, dan Prangko Pertama Hindia Belanda Willem III yang terbubuh cap pos Djokjokarto yang usianya lebih dari 100 tahun ikut melengkapi pameran Pesiyaran ini.
“Koleksi yang ditampilkan diperoleh dari para pengumpul Kartu Pos dari Komunitas Jejak Kartu Pos, kegiatan ini juga sekaligus mengajak para kolektor ikut memberikan edukasi kepada masyarakat dengan media pameran ini sehingga koleksi tidak hanya diam di rumah bersama pengkoleksi. Serta media kartu pos juga ikut andil dalam menelusuri jejak sejarah dari visual yang ditampilkan” Uul Jihadan Ketua Panitia Cerita Kartu Pos 2022
Pameran yang secara resmi dibuka oleh Yetti Martanti Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta (20/12/2022) mengharapkan pameran ini dapat memberikan wahana serta sarana belajar ataupun mengikuti perkembangan seni budaya dan sejarah di Indonesia melalui Kartu Pos.
“Gambar dan Tulisan yang terdapat pada kartu pos baik yang dikirimkan punya banyak cerita. bahkan kita dapat bersama-sama menelisik seni dan budaya Kota Yogyakarta melalui kartu Pos” tambah Yetti.