beritaKUH- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menghapus usulan skema power wheeling dari daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang diserahkan kepada DPR pada Desember 2022. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyayangkan keputusan tersebut dan mendesak pemerintah dan DPR memasukan renewable power wheeling dalam pembahasan RUU EBET.
Skema power wheeling adalah pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Melalui skema ini, produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki PLN. Dalam pandangan IESR, power wheeling dapat meningkatkan permintaan energi terbarukan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam menyediakan energi terbarukan sehingga mengakselerasi peningkatan energi terbarukan, serta mengurangi beban investasi PLN untuk pembangkitan energi terbarukan.
“Pemanfaatan jaringan bersama tenaga listrik atau power wheeling akan memberikan akses yang lebih mudah bagi konsumen untuk mendapatkan pasokan energi terbarukan dengan harga yang kompetitif. Hal ini dapat mendorong minat pengembangan sumber daya energi terbarukan yang ada, dan tidak perlu bergantung pada permintaan dari PLN sebagai off-taker selama ini. Energi terbarukan (renewable) power wheeling juga akan meningkatkan tingkat utilisasi jaringan listrik milik PLN, dan menjadi sumber pendapatan baru,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Menurutnya, skema power wheeling merupakan konsekuensi dari sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan PLN yang mempunyai hak monopoli dalam penguasaan jaringan transmisi. Melalui skema power wheeling ini maka jaringan tenaga listrik dapat dimanfaatkan secara bersama serta memungkinkan Independent Power Producers (IPP) energi terbarukan menjual listrik secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.
Fabby menambahkan bahwa penilaian Kementerian Keuangan yang menyebutkan implementasi power wheeling bertentangan dengan situasi kelebihan suplai PLN merupakan alasan tidak tepat. Selain kelebihan suplai tersebut didominasi oleh pembangkit energi fosil sehingga menghambat
capaian target bauran energi bersih, Fabby menjelaskan, kondisi kelebihan suplai juga diprediksi tidak berlangsung lama dan akan berakhir pada 2025 seiring dengan bangkitnya laju pertumbuhan permintaan listrik pasca pandemi.
“RUU EBET jika disahkan akan berlangsung untuk kurun waktu yang panjang, bahkan melampaui masa kelebihan suplai saat ini. Pemerintah harus mendorong penambahan energi terbarukan secara cepat terutama sekali jika dikaitkan dengan rencana adanya pengakhiran PLTU pada 2030. Ke depannya, power wheeling dapat menjadi salah satu sumber pendapatan (revenue) PLN yang berasal dari sewa jaringan,” imbuh Fabby.
Lebih jauh, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR menjelaskan bahwa terlalu dini mencemaskan kerugian negara dan PLN akibat penerapan skema power wheeling. Menurutnya, skema power wheeling ini jika disetujui dalam RUU EBET, masih akan perlu diturunkan peraturan pelaksanaannya, dan di peraturan ini bisa dikelola potensi dampak risiko pada PLN dan juga negara.
“Sebagai contoh, pada penentuan tarif power wheeling, pemerintah bisa mengelola penentuan tarif ini berdasarkan kajian yang komprehensif sehingga dapat menyeimbangkan antara target pengembangan energi terbarukan dengan resiko pengurangan pertumbuhan listrik di PLN. Di sisi lain, PLN juga masih memungkinkan untuk ikut ambil bagian dalam skema power wheeling melalui sub-holding generation company-nya,” ujar Deon.